Senin, 22 September 2008

Mudik, Ritus Budaya, Primordial dan Absurd

Mudik, Ritus Budaya,
Primordial dan Absurd

Oleh T Junaidi

Entah, tiba-tiba saja saya begitu bangga menjadi bagian dari sekian juta wong dusun alias udik. Padahal selama ini yang namanya udik, kampong, pelosok, dusun atau apalah namanya, merupakan sebutan yang benar-benar bikin kita minder keblinger, kurang percaya diri, dan malu luar biasa. Dusun itu konotasinya terbelakang, miskin, bodoh, jorok, dan termarginal-kan oleh ruang gerak dan modernitas kota.

Persoalan dusun, kota dan modernitas, hanyalah persoalan tempat dan pengalaman yang dipijak, sebuah ruang budaya yang tidak kita sadari. Orang udik yang siap mudik, juga tidak ada yang ‘ngajari’ dan mengomando. Tidak ada yang melarang dan dilarang, mereka mengalir seperti air menuju lembah yang dinantikan. Sebuah lembah kebahagian bersama orang-orang yang pernah kita kenal, Pak Camat, Pak Lurah, Pak RT, Pak Kadus, Pak Kiai, Pak Hansip, Mbah Dukun, sesepuh kampong, teman mancing waktu kecil dan lain-lain.

Kebahagiaan itu tetap dirayakan meski dusun tempat tinggal kita itu pernah dilanda krisis pangan, membuat kita sengsara makan ubi rambat, makan bonggol pisang, atau bahkan dusun kita itu sempat membuat kita kurus kering kurang gizi. Tapi itulah misteri mudik, yang sulit diterjemahkan secara rasional dan pertimbangan untung rugi, karena perjalanan mudik sangatlah tidak menyenangkan. Berebut tiket, berhimpit di bis antar kota antar provinsi, nginap di stasiun kereta api, kecopetan dan lain-lain.

Mudik, meski bukan merupakan ajaran teologis, namun dalam konteks menyambut hari raya Idul Fitri sekarang ini, menjadi misteri yang sangat “teologis”. Semangat dan antusiasme masyarakat dalam melakukannya kadang melebihi antusiasnya dalam transendental kontemplasi ibadah teologis. Mereka tak peduli gerbong kereta api penuh sesak oleh manusia dan barang-barang bawaan, tak peduli apakah nantinya terjepit atau jatuh, atau ancaman lain dalam perjalanan—ancaman itu tak pernah terbersit dalam pikiran. Saya dan mereka tetap semangat meski gaji untuk mudik mungkin cukup untuk ongkos perjalanan saja, ditambah lagi harga BBM melambung yang dibarengi harga sembilan bahan pokok merambat naik. Ini memang bisa bikin kepala pusing tujuh keliling. Tapi dalam situasi mudik, masalahnya menjadi lain, urusan harga, BBM, keamanan, adalah urusan negara. Kita hanya menjalani saja--yang penting mudik.

Logikanya, apa yang dibanggakan dari sebuah dusun yang miskin diujung Indonesia sana? Tidak ada listrik, jalan tanah becek, air kotor, berak di atas jerambah sungai, dan mandipun di air sumur yang keruh. Apa yang dibanggakan dari dusun terpencil yang hanya bisa ditempuh dengan melalui sungai, menembus hutan belantara? Jelas ini tidak bisa diteropong secara kasat mata, dinalar secara rasional. Tapi harus masuk dalam ruang batiniah yang absurd. Ada semacam sentimental primordial dan berpijak pada sosio-relejiusitas, kebahagiaan masing-masing orang adalah hakiki.

Kendati demikian kita juga tidak bisa mengatakan ini merupakan legitimasi tekstual teologi. Saya dan mereka adalah komunitas sosial, lebih dekat dengan orang-orang yang pernah bersosialisasi, rindu gotong-royong, persahabatan, rindu ikan asin, rindu manjat pohon mangga, rindu makan di tengah pematang sawah, rindu main sepakbola di tanah lapang yang becek dan lain-lain.

Dusun buruk yang jauh dimata itu, benar-benar terasa dekat dihati. Dusun telah melambai-lambai menunggu kedatangan kami dengan segenap rasa suka dan duka. Dusun telah menantikan kabar baik kami dari kota, yang setiap hari disibukkan oleh rutinitas untung rugi, sibuk memperjuangkan kepentingan pribadi dan kursi jabatan, bersaing sengit dan tega mengusir teman. Inilah wajah kota yang penuh dengan pertimbangan angka-angka dan perkiraan untung dan rugi..

Mudik tak lagi bisa dikotak-kotakan dalam sebuah status sosial. Bahwa mudik itu milik kaum pembantu, pekerja kasar dan buruh bangunan. Apapun sebutannya, ada semacam ekstase dan alkoholisme dalam diri masyarakat dalam memaknai mudik sebagai ritualitas teologis.

Dengan demikian mudik menjadi semacam ritual keberagamaan yang memperoleh legitimasi tekstual dalam ajaran agama. Hal ini dianalogkan dengan tradisi silaturahim, saling maaf dalam momentum Idul Fitri, meski ajaran silaturahim dalam Islam tak identik dengan Lebaran saja, tapi setiap saat perlu silaturahmi. Minta maaf kepada kedua orang tua. Saling berpelukan, menangis haru dan menemukan kasih sayangnya.

Mudik secara sederhana bisa diartikan sebuah proses untuk menelusuri dan mengikatkan diri kepada akar sosial kita. Entah saya atau anda ini seorang pejabat tinggi, direktor jenderal manager, pengusaha sukses dan lain-lain. Tapi ketika dirantau anda dan saya tetap saja seorang diri alias Mr Nobody, sekedar nomor urut kursi jabatan dan kesempatan. Tetapi dikampung halaman sendiri, kita yang ‘jenderal manager’ menemukan kembali kebahagiaan hakiki, bisa menghayati kembali makna kedudukan sebagai tetangga, jamaah masjid, sebagai kakak, adik, paman, keponakan, saudara ataupun anak tersayang ibunda.

Disitu kita dapat merasakan kembali kasih sayang tanpa pamrih, kasih sayang yang hakiki bukan hanya sekedar basa-basi. Dengan tinggal beberapa saat saja di desa, kita dapat menyadari kembali makna sosial dari seorang tetangga, sahabat ataupun saudara, jadi bukan hanya sekedar sebagai orang lain yang tinggal di seberang rumah atau di lain bagian tempat kita kerja. Di kampung halaman kita bisa mendapatkan kembali harkat dan nilai kemanusiaan kita lagi. Dan saya bangga menjadi orang udik yang bekerja di kota, seperti Anda!.

(Penulis adalah wartawan Sumatera Ekspres dan Komunitas Seni)

Tidak ada komentar:


Salsa, Anis dan Aji naik speedboad mau berkunjung ke tempat nenek di Jalur 23 Airsugihan OKI